Soeryo Adiwibowo

Alumni IPB Ahli Ekologi Manusia

Dosen SKPM IPB Alumni IPB Angkatan : Lulusan Tahun 1978 Jurusan/Fakultas : SOSEK/FAPERTA S1

Soeryo Adiwibowo mendapatkan gelar S1 Sosial Ekonomi Pertanian IPB pada tahun 1978. Ia kemudian melanjutkan S2 di IPB jurusan Natural Resources and Environmental Management dan lulus pada tahun 1985. Tak puas hanya bergelar ‘master’ Soeryo melanjutkan studinya ke jenjang S3 di University of Kassel, Jerman jurusan Political Ecology.

Selama menjadi dosen di IPB, sederet prestasi dan penghargaan pun ia raih diantaranya mengembangkan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB hingga mendirikan dan mengembangkan Bagian Kependudukan, Agraria dan Ekologi Politik.

Mata kuliah yang ia ajar adalah Sosiologi Umum (S1), Metode Penelitian Sosial (S1), Ekologi Manusia (S1 dan S2), Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam (S1), Ekologi Politik Sumberdaya Alam (S2), Teori Ekologi Politik dan Gerakan Ekologi (S2), Teori Sosial Hijau (S3).

Soeryo juga menulis buku dan jurnal seperti Ekologi Manusia: Mata Air Integrasi llmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial dan Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor.

“Hasilnya, krisis ekologi sudah terjadi, dan makin parah,”

Penelitian Fenomenal Soeryo yang juga seorang ahli Ekologi Manusia pada tahun 2007 pernah menuturkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, Pulau Jawa sudah mengalami krisis ekologi.

Pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam di pulau ini telah melampaui daya dukungnya. Akibatnya, selain intensitas bencana alam meningkat terjadi juga penurunan keanekaragaman hayati dan masalah sosial, terutama di perkotaan. Penelitian ini pun kemudian diperbaharui lagi lima tahun kemudian. Hasil penelitiannya pun ternyata terbukti.

Soeryo menjabarkan, faktor utama terjadinya krisis adalah meningkatnya populasi penduduk serta konsentrasi pemusatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Kondisi tersebut membuat hutan Pulau Jawa tergerus luasnya. Luasan tutupan hutan alam Pulau Jawa, kata Soeryo, pada 1800-an mencapai 10 juta hektare, namun pada 2005 menyisakan 400 ribu hektar, dan kemungkinan sekarang hanya 100 ribu hektar. Hal ini seiring dengan meluasnya lahan kritis dari 1,36 juta hektare pada 1998, menjadi 4,1 juta hektare pada 2002.

Menurut Soeryo, ke depan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan, Pemerintah harus lebih memerhatikan daya dukung lingkungan.

Tinggalkan Komentar