Cecep Mohammad Wahyudin

Suksesnya Dimulai dari Nol, Ditempa Liku Hidup


Disebut sebagai Crazy Rich Cianjur di usia muda, tak membuat dokter hewan ini jumawa. Ia juga tak merasa berpuas diri melakukan berbagai inovasi dalam berbisnis.

Berkat kerja kerasnya, Cecep Mohammad Wahyudin yang kini akrab dijuluki DC atau Dokter Cecep menjadi Chief Operating Officer (COO) sekaligus pemilik perusahaan QL Tri Mitra, produsen bibit ayam dan telur konsumsi. Cecep juga membangun usaha pangan dengan membuat digital platform Etanee Food Supply Chain dan Restoran D’Colonel.

Alumni Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University ini menempa segala kesuksesannya melalui kehidupan yang berliku. Usai lulus, Cecep pernah menjadi dokter hewan hingga 2010. Ia juga sempat menamatkan pendidikan S2 Jurusan Hukum di Universitas Suryakencana pada 2008 setelah sebelumnya menyelesaikan S1 di jurusan dan kampus yang sama.

“Saya merasa beruntung setelah mengalami jatuh bangun. Keterpurukan memaksa saya terus berupaya menjadi lebih baik. Di tengah krisis, saya justru melihat peluang,” kata pengusaha muda kelahiran Cianjur, 22 Juni 1979 itu.

Perjuangan sukses pengusaha berdarah Sunda ini memang tidaklah mudah. Berbagai usaha dan kesulitan hidup telah dialaminya mulai dari berjualan telur, kardus, menjadi broker ayam, dan beternak ayam. Bahkan sempat menjadi debt collector.

Ayah Cecep dahulu tergolong orang kaya pemilik 'Rumah Makan Ikan Mas' dari tahun 1957 yang tutup pada tahun 1997 karena bangkrut. Sejak tahun 1985, ayahnya sudah fokus di tabligh akbar sehingga meninggalkan bisnisnya, meninggalkan dunia untuk fokus pada agama.

Hingga akhirnya saat Cecep lulus SMA, keluarganya kembali ke titik nol. Tidak memiliki bisnis apapun, hingga ayahnya meninggal sekitar  tahun 2000, kondisi keuangan keluarganya pun semakin buruk.

Saat SMA, Cecep fokus sekolah karena kakak-kakaknya tidak ada yang sekolah tinggi. Ia pun lantas melanjutkan pendidikan IPB University jurusan Kedokteran Hewan, tetapi ibunya meminta diundur karena tidak memiliki biaya.

Meski demikian, demi sang anak bisa bersekolah, ibu Cecep pun mencari pinjaman ke tetangga. Setelah itu, Cecep mengajukan beasiswa dan lolos. Cecep pun melanjutkan kuliah sambil mencari penghasilan tambahan, mulai dari pengajar bimbel, jualan fotocopy-an, sampai membuat diktat. Hingga akhirnya lulus S1, Cecep butuh biaya untuk sekolah profesi, sayangnya lagi-lagi tidak ada uang.

Sampai suatu hari, Cecep bertemu dengan seorang wanita yang usianya jauh lebih tua dari dia. Wanita itu membantu Cecep hingga lulus kuliah. Cecep pun mengakui bahwa wanita itu adalah pahlawan ia sampai lulus kuliah. Namun sayangnya setelah Cecep lulus, hubungan mereka pun berakhir.

Cecep bercerita menjadi dokter hewan adalah hal yang tak pernah ia duga. Bahkan sebelum menjadi dokter hewan, ia juga pernah bekerja sebagai Technical Service Representative untuk obat-obatan ayam dan hewan di PT SHS/Charoen Pokphan Indonesia. Cecep menangani area di Sukabumi. Tak hanya bekerja, ia juga diam-diam belajar mengelola perusahaan.

“Memang dari awal, hidup saya susah, tetapi saya berpikir bahwa suatu saat saya harus keluar dari kondisi itu. Jadi, saya bekerja disana cuma untuk belajar bagaimana mengelola perusahaan. Maka setiap enam bulan, saya melakukan review, sudah siap atau belum saya keluar?,” tuturnya.

Akhirnya, sekitar dua tahun kemudian ia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut. Ia kemudian bekerja dan mempelajari bisnis di perusahaan ayam. Setelah merasa cukup belajar, dokter hewan ini memutuskan untuk menjadi peternak. Hal ini karena ia melihat bisnis ayam di Indonesia bisa mencapai Rp600-900 triliun per tahun.

Setelah resign dari pekerjaannya di perusahaan ayam, karir bisnis Cecep dimulai dengan membuka tenda pecel lele yang buka dari jam 4 sore hingga 12 malam. Ia juga berjualan telur keliling, mengirim telur dari warung ke warung di Cianjur. “Pertama saya jual telur 20 peti seminggu. Saya utang ke peternak. Saya tidak perlu modal. Dia kasih utang seminggu, uang sudah terkumpul, lalu saya bayar,” kisahnya.

Ia mengaku berutang dulu ke peternak dengan jangka waktu 30 hari, sementara ke pemasok ia minta tempo pembayaran 60 hari. “Uangnya nyambung dan terus berputar. Gali lubang tutup lubang, tapi saya punya komitmen,” lanjutnya.  

Hingga 2005, ia mulai bisnis ayam hidup dari Cianjur ke Jakarta. Dari awal satu mobil pickup, hingga bisa menjual 5-6 truk ayam hidup dengan omzet Rp100 juta per hari, itu berarti satu bulan Rp3 miliar dan hanya memiliki dua orang staff.

Dari peternakan ia mengembangkan produksi ayam pedaging. "Awalnya merintis usaha ini memang berat. Pukul empat pagi saya harus menjajakan ayam ke pasar Cianjur sampai shubuh. Setelah ayam laku di pasar, saya tidak lekas pulang ke rumah. Tetapi menjual telur ayam ke rumah-rumah," cerita Cecep.

Peternakannya yang dibangunnya perlahan maju. PT Trimitra yang didirikannya merupakan perusahaan yang fokus ke penjualan telur ayam, ayam day old chick (DOC), ayam broiler, dan pakan ayam.

Cecep mendapat pukulan telak ketika tahun 2007 muncul kasus flu burung yang membuat usahanya bangkrut. Harga ayam terjun bebas. Bahkan banyak yang tidak mau membeli ayam. “Saya pun bangkrut. Ayam saya banyak yang mati, saya minus sampai Rp 1,4 miliar. Saya sempat stres,” akunya.

Di saat kebingungan, ada kawan yang mengajak jadi debt collector. "Dari menjadi debt collector saya bisa membayar sebagian hutang tersebut. Maklum saja, dari hasil debt collector saya bisa mendapat fee minimal 20 sampai 80 persen," kata pria yang pernah bertubuh gemuk ini.

Ia juga terpaksa menjual seluruh ayamnya seharga Rp 40 ribu per ekor untuk membayar hutang. Meski, tidak dapat menutupi semua hutangnya. Dengan pengorbanan, ia menggadaikan  mobil dan tanahnya. Semua utang pun selesai dan kembali normal.

Setelah mampu membayar hutangnya, ia kembali menjalani usaha ayam tersebut. Karena menurutnya hanya dari ayamlah rezekinya. "Saya jadi lebih mengerti mengenai ayam daripada profesi kedokteran saya," akunya.

Sampai pada 2009, Cecep dipertemukan dengan presiden direktur QL Resources Bhd Malaysia (QRL). Ia lalu bermitra dan membangun QL Tri Mitra. Perusahaan QL Tri Mitra merupakan joint venture antara QL Resources Bhd Malaysia (QLR) dan Trimitra Group Indonesia (Trimitra) yang bergerak di bidang peternakan ayam terintegrasi.

Hingga akhirnya di tahun 2010, perusahaan pun semakin membesar dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar pula. Tak lama kemudian, pada 2010 QLT sudah memiliki unit usaha melalui anak perusahaan PT Q L Agrofood (QLA) yang memproduksi telur konsumsi yang mampu menghasilkan kapasitas produksi hingga 1 juta butir telur sehari.

“Kepemilikan sahamnya, 100% Malaysia. Saya didaulat menjadi direktur juga di sana. Tanpa saham, hanya gaji saja,” jelas pengusaha yang punya hobi menembak itu.

Cecep lanjut kuliah S2 di Jurusan di Universitas Suryakencana dan lulus pada tahun 2008 karena melihat bisnis ayam seperti hukum rimba. Niatnya mempelajari dan memperdalam hukum perbankan, korporasi, keuangan, dan sekuritas.

Belakangan, pengusaha asal Sunda ini melepas saham QL Trimitra. Tak lain lantaran ingin lebih leluasa membangun pengembangan ekonomi kerakyataan berbasis koperasi. Di samping itu, ia juga tengah fokus dalam mengembangakan usahanya melalui Perwiratama Group.

Di bawah bendera Perwiratama Group, Cecep mengembangkan usaha pangan. Di antaranya, PT Solusi Pangan Perwiratama sebagai bendera bisnis untuk digital platform Etanee Food Supply Chain dan PT Cipta Kuliner Perwiratama untuk Restoran D’Colonel.

Ayam goreng D'Colonel menjadi bisnisnya yang ketujuh. D'Colonel memiliki 4 restoran di sekitar Cianjur, Bogor dan Bandung, juga 80 mini restoran lainnya yang tumbuh hanya dalam dua tahun berjalan.

“Menurut saya, kunci utama kesuksesan seseorang adalah komunikasi, apa pun profesi dan statusnya. Pahit, manis, dan asin harus dikatakan. Semua harus dikomunikasikan,” ujar dokter, pengusaha dan juga penulis Novel “180” itu.

Novel yang menggunakan nama samarannya, Mohammed Cevy Abdullah itu ditulisnya bersama Noorca M Massardi, jurnalis senior. Novel itu ia niatkan untuk menumbuhkan keberanian setiap pembaca. Novelnya diterbitkan oleh Kaki Langit Kencana (Prenadamedia Group) pada 2016.

“Tujuannya agar pembaca berani bermimpi besar dan berani mewujudkan mimpi tersebut dengan usaha yang besar pula,” pungkas Cecep. ***

Tinggalkan Komentar