Gunggung Senoaji

Pengawal Hutan dari Banten Hingga Bengkulu

Sekitar 700 tahun lalu, seorang filsuf muslim kelahiran Granada, Ibnu Thufail, menulis sebuah novel filosofis yang kemudian dikenal sebagai Risalah Hayy ibn Yaqzan. Nyatanya, kisah Hayy ibn Yaqzan yang hidup di hutan, belajar dari alam dan menemukan hakikat penciptaan Tuhan jauh lebih dahsyat dari sekadar dongeng Tarzan.

Demikian juga kiprah Gunggung Senoaji yang tak pernah lelah mengembalikan fungsi hutan sebagai pengendali ekosistem bumi. Perjalanan Gunggung tak ubahnya petualangan di dunia nyata yang mengingatkan kita pada para pejuang hutan: berani dan konsisten.

Aksi putra kelahiran Bayah, Lebak, Banten, 12 November 1971 dalam mengawal kelestarian hutan dilakukannya penuh loyalitas dan totalitas. Lulusan Kehutanan Manajemen Hutan IPB ini berkali-kali datang dan menimba ilmu ke kawasan hutan suku Baduy, Banten untuk melakukan penelitian pada 2003 dan 2009.

Gunggung harus menempuh perjalanan ke Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Untuk mencapai ke lokasi pemukiman, ia harus berjalan kaki berkilometer melalui jalan setapak tanpa pengerasan di balik Gunung Kendeng.

Tujuannya untuk mengetahui kondisi masyarakat Baduy dan lingkungan serta bagaimana mereka memanfaatkannya dengan arif dan bijaksana. “Dalam pengelolaan lingkungannya, masyarakat Baduy berpegang pada aturan adat yang intinya adalah pengaturan tata ruang yang tegas untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya,” jelas Gunggung.

Gunggung melihat warga Baduy melarang melakukan penebangan pohon maupun perusakan hutan. “Kalau hutan itu rusak tentu akan menimbulkan malapetaka bagi manusia dan ekosistem lainnya,” tegas Gunggung yang dalam desertasinya memperoleh predikat cumlaude dari UGM tahun 2011.

Tak hanya itu, pembalakan liar yang terjadi di kawasan Hutan Produksi Air Rami di wilayah Kabupaten Mukomuko juga menjadi perhatian khusus Gunggung Senoaji. Walau ia tahu, kasus ini penuh tantangan.

Sebagian kawasan HP Air Rami dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) milik PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) dan berdampingan dengan area perkebunan sawit milik PT Alno Agro Utama dan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat yang merupakan habitat kunci gajah Sumatera di wilayah Bengkulu.

Mirisnya, gajah Sumatera lanskap Seblat Provinsi Bengkulu di kawasan bentang Seblat ini hanya tersisa 50 ekor. Gunggung pun lantang bersuara. Ia mengatakan penetapan bentang Seblat sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) merupakan harapan terakhir dalam upaya pelestarian gajah Sumatera di tengah terus menyempitnya habitat gajah.

“Pembentukan KEE ini ditargetkan menjadi solusi pengelolaan ruang bagi manusia dan gajah secara harmonis sehingga gajah selamat, manusia juga selamat,” kata tenaga ahli kehutanan pada proyek Implementasi Rencana Tindak Mendesak Gajah Sumatera di Bentang Alam Seblat Provinsi Bengkulu, Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) 2021-2024 ini.

Dunia hutan dan lingkungan memang dunia yang konsisten digelutinya. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Rangkasbiung, suami dari Elvi Susanti dan ayah dari Gredia Sekar Saraswati dan Yudistira Ramadhan Senoaji ini melanjutkan pendidikannya di IPB pada tahun 1990. Lalu meneruskan pendidikan S2 dan S3 di Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Ia pernah bekerja sebagai Tenaga Ahli Kehutanan di HPH PT. Prasarana Marga di Timika, Irian Jaya (1994-1996); Staf Ahli Divisi Kehutanan di PT. Ekokon Nusantara, Jakarta (1996-1997); lalu sejak 1997 menjadi staf pengajar di Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu hingga sekarang.

Gunggung pun dipercaya sebagai tim pelaksana pelatihan pembangunan hutan kemasyarakatan Provinsi Bengkulu (1999-2000); Ketua Tim Penilaian Bibit Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Bengkulu (2004); Ketua Tim Kajian Ekosistem Hutan Pulau Enggano, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Bengkulu (2005) dan menjadi Tim Ahli Penyusunan Naskah Akademik Perlindungan Kerusakan Lingkungan Hidup di Provinsi Bengkulu (2012) di Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu.

Hingga sekarang, ia dipercaya sebagai Tim Penilai Adipura Provinsi Bengkulu sejak 2006 dan Tim Penilai Lisensi AMDAL Provinsi Bengkulu (2013); ia juga merupakan Ketua Tim Percepatan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu (2014).

Upaya rehabilitasi produksi hutan juga tak ketinggalan menjadi perhatian Gunggung. Bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bekerjasama dengan organisasi internasional The International Tropical Timber Organization (ITTO), Gunggung turut mengembangkan durian unggul Bentara dalam program rehabilitasi hutan di wilayah Kabupaten Seluma, Bengkulu.

Gunggung menambahkan, Durian Bentara merupakan singkatan Durian Bengkulu Utara dan merupakan durian lokal yang sudah dirilis sebagai varietas unggul oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 493 tahun 2005. "Ini merupakan program rehabilitasi kawasan hutan tropis sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan," kata Gunggung.

 

Tinggalkan Komentar