Achmad Fachrodji

Rimbawan di Taman Bacaan


Dari Surabaya menuju Madura
Membawa kurma dan buah markisa
Badan Usaha Milik Negara
Maju bersama untuk Indonesia

PANTUN di atas merupakan salah satu pantun yang pernah ditulis Achmad Fachrodji untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan, konon pernah diwajibkan untuk dihafalkan oleh jajaran BUMN.

Achmad Fachrodji, direktur utama PT Balai Pustaka (Persero) memang dikenal sebagai “Bapak Pantun” di kalangan BUMN.

Suatu waktu, Fachrodji ditawarkan pekerjaan menangani PT Balai Pustaka (Persero) oleh Menteri BUMN yang ketika itu dijabat Rini Soemarno.

Namun, perusahaan pelat merah itu kondisinya saat itu sedang sakit parah dan nyaris bangkrut. "Saya seorang rimbawan yang diminta menjadi sastrawan," kata Achmad Fachrodji berseloroh.

Pada saat masuk ke Balai Pustaka (BP) tahun 2016, BP dalam keadaan merugi selama 15 tahun, karyawan tidak digaji selama 5 bulan, hutang menumpuk, tidak bankable, revenue kecil, pabrik tidak beroperasi, suasana kantor kumuh dan bahkan terancam untuk ditutup.

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, mission impossible ini dijalankan Fachrodji dengan keliling menawarkan kerjasama dengan BUMN. Dengan kepiawaian Fachrodji yang gemar berpantun, dia mengembangkan prinsip sinergi dengan perusahaan lainnya seperti Bank Mandiri, Telkom, Pegadaian, dan lain-lain.

Dr. Achmad Fachrodji datang dengan pendekatan baru “change” atau “berubah”, dari BP yang semula jalan di tempat berubah menjadi berlari kencang layaknya macan panther.

Ia menampilkan visi BP sebagai “Terdepan dalam industri penerbitan, percetakan dan multimedia”. Budaya perusahaan yang dibangun yaitu CERDAS (creative, energic, responsive, dynamic, active dan smart) dan tata nilai perusahaan yaitu JUARA (jujur, unggul, amanah, rajin dan adil).

Pantunnya menjadi media dalam mengembangkan kerjasama yang mampu menciptakan keuntungan bagi BP.

Fachrodji masuk BP tahun 2016 ketika kondisinya benar-benar merugi. Setahun kemudian, tahun 2017 Achmad Fachrodji mampu mengubahnya sehingga meraup keuntungan atau laba yang terus meningkat hingga sekarang.

Sebagai Doktor lulusan IPB University, ia sebenarnya tidak punya latar belakang profesional mengurusi masalah sastra, dunia bacaan dan penerbitan. “Saya sih percaya diri saja,” ungkap mantan Dirut Perhutani ini.

Sebagai rimbawan, ia memang berpengalaman sebagai manajer proyek kehutanan di Kalimantan hingga menduduki posisi sebagai Direktur PT Perhutani. “Dengan kita mau belajar, dan terus belajar, kita bisa atasi masalah tanpa masalah,” ujarnya bercanda.

Lelaki kelahiran Brebes, Oktober 1960 ini pernah menjabat Direktur Komersial sebelum menjabat Direktur Utama Balai Pustaka. Sebelum bergabung di BUMN bidang penerbitan ini, Fachrodji sudah berpengalaman memimpin perusahaan baik BUMN maupun swasta.

Ia pernah menjabat Direktur Produksi PT Inhutani I (Persero) pada tahun 2001 hingga 2005, Direktur Pemasaran dan Industri Perum Perhutani tahun 2005 hingga 2010, dan Direktur SDM dan Umum Perum Perhutani tahun 2011 hingga 2014.

Sejumlah posisi penting juga dipercayakan kepadanya, mulai dari Komisaris PT Palawi, Komisaris Jasindo Sri Sejahtera hingga posisi Vice President Kuala Group.

Dr. Achmad juga mengajar di Universitas Mercu Buana dan mendapatkan penghargaan sebagai dosen e-learning terbaik selama tiga tahun berturut-turut.

Ia menamatkan S3 dari Program Doktor Manajemen dan Bisnis (DMB) Sekolah Bisnis IPB University dan merupakan wisudawan S3 Bisnis Terbaik IPB University tahun 2010.

Pertama kali masuk kerja, sang Direktur Utama usaha penerbitan ini mengaku sempat shock juga, ya agak terkejut. Kondisi kantor PT BP tidak seperti yang ia bayangkan. Saat itu ruang depan sudah benar-benar kumuh dan memprihatinkan. Di sana-sini gelap seperti rumah hantu. Karena BUMN ini tak mampu bayar listrik.

“Ketika saya masuk seperti saya berada di rimba belantara. Karyawan di sini itu susah ngumpul karena mereka tidak gajian, mereka lebih memilih ngojek atau bekerja sambilan di luar,” ujar Achmad Fachrodji mengenang, tanpa harus berkubang dalam romantisme pedih.

Balai Pustaka merupakan perusahaan penerbit tertua di Indonesia dan sudah berumur 100 tahun pada 2017 lalu. “Dulu tidak seorangpun pemimpin di negeri ini yang tidak mengenal Balai Pustaka. Mereka jadi pintar karena peran Balai Pustaka juga,” kata Fachrodji.

Melakukan pembenahan manajemen dan perubahan budaya perusahaan, antara lain, dengan membangun mental dan mindset SDM karyawannya. Begitu diterjunkan, Fachroji tak berlama-lama “semedi” di ruang Balai Pustaka yang mati lampu, karena tak kuat bayar listrik.

“Dari situ maka saya beritahu kepada mereka, kenapa dengan menggairahkan sastra Balai Pustaka akan bangkit kembali, saya beritahu tentang filosofi membalas budi kepada para pendahulu Balai Pustaka. Karena karyawan ini pernah merasakan gaji dari hasil royalti karya para sastrawan besar, maka itu doa-doa para sastrawan lebih diterima Tuhan karena narasinya kan lebih indah,” kata pria penggemar olah raga ini.

Gebrakan Fachrodji di Balai Pustaka antara lain membangun Kafe Sastra dan program 1.000 taman bacaan.

Fachrodji menyulap lingkungan Balai Pustaka yang kumuh, kini menjadi segar. Ada kafe Sastra untuk kongkow, serta di sudut taman depan Balai Pustaka, nuasa bunga terawat apik, dengan patung perunggu artistik.

Sementara Konsep Taman Bacaan dijalankan sang Rimbawan ini layaknya toko buku, hanya lokasi Taman Bacaan banyak dibangun di wilayah-wilayah terpencil. Satu taman bacaan diisi 500 buku yang tidak hanya terbitan dari Balai Pustaka.

“Ketika bu Rini meminta Balai Pustaka bersinergi dengan BUMN dan membuat program 1.000 taman bacaan,” ujar Fachrodji. Maka 1.000 itulah gerai Balai Pustaka, “Anda bisa hitung jika satu rumah baca butuh 10 judul buku maka ada 10 ribu judul buku yang harus dipasok ke taman bacaan.”

Tak pelak, toko buku itu pun mendekati Balai Pustaka. ”Mereka ingin men-display bukunya di Taman Bacaan. Karena pasti laku. Jadi sama-sama hidup, penerbit swasta hidup, kami juga hidup,” papar Fachroji dengan gambling.

Untuk kemudian, Balai Pustaka terobati penyakitnya. Banyak toko buku, yang mendekati Balai Pustaka, karena gerai jaringan yang luas.

Bagi Fachrodji, tidak ada penerbit di Indonesia yang punya kekayaan sehebat BP. “Sampai ada 6.000 judul lebih, dan kami punya segalanya. Jadi, tidak mungkin mati.”

Fachrodji pun dengan bangga bisa membuka setiap pertemuan dengan pantun Balai Pustaka. “Indah berkembang bunga cempaka, Sinar rembulan penghias angkasa; Kami datang dari Balai Pustaka, Istana Peradaban kebanggaan bangsa.”

Kini Balai Pustaka bahkan merambah ke industri kreatif dengan memproduksi film, komik digital, hingga gim. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini dikenal bergerak di bidang penerbitan dan percetakan buku kini telah bertransformasi.*

Tinggalkan Komentar